Hukum bekerja dan Gaji Pegawai Bank dalam Islam



Hukum Gaji Pegawai Bank Konvensional dalam Islam



Menurut para ulama bahwa gaji sesuai pengertian bank konvensional di bank bank konvensional secara mutlak tidak diperbolehkan, karena termasuk memakan harta riba, atau menuliskannya, atau menyaksikannya, atau membantu mereka yang bermuamalah dengannya. Sejumlah ulama besar telah mengeluarkan fatwa haramnya gaji di bank bank konvensional, meskipun pekerjaannya tidak berkaitan secara langsung dengan riba, seperti satpam, petugas kebersihan, pelayanan.


gaji di bank ribawi hukumnya haram sebab termasuk macam macam riba dalam ekonomi islam, karena hal ini berarti tolong menolong dalam dosa dan permusuhan sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah ayat dan sebuah hadits. Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim menjauhi riba dan segala perbuatan yang bisa membantu riba. Kita wajib bertakwa (takut) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam masalah ini. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong.
Fatwa Lajnah Daimah 15/41:


(seorang muslim tidak boleh gaji di bank yang bermuamalah dengan riba, meskipun pekerjaannya tidak langsung berkaitan dengan riba, tetapi karena dia menyediakan keperluan para pegawai yang bermuamalah dengan riba dan bantuan yang mereka perlukan untuk muamalah riba. Allah Ta’alaa berfirman: (janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan) (QS Al Maidah:2).
Lajnah Daimah pernah ditanya (15/38): Apa hukum gaji di bank bank sehubungan dengan hukum riba menurut islam sekarang ini?


Maka Lajnah menjawab:


(Kebanyakan muamalah keuangan sekarang ini mengandung unsur riba, dan itu haram berdasarkan Al Qur’an, Sunah dan Ijma umat. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam telah menghukumi bahwa orang yang membantu pemakan riba dan wakil yang menuliskannya, atau yang bersaksi untuknya atau semacamnya, maka dia bersekutu dengan pemakannya dan wakilnya dalam laknat dan kutukan dari rahmat Allah.
Telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan yang lain dari hadits Jabir radhiallahu ’anhu tentang cara agar tidak terjerumus dalam riba:


(Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makannya, penulisnya, dan para saksinya) dan beliau bersabda: (mereka sama (yakni dalam dosa)).


Dan mereka yang gaji di bank bank konvensional adalah para pembantu bagi majikan majikan bank tersebut dalam mengatur pekerjaannya: sebagai penulis, saksi, pemindah dokumen, kasir, atau yang menerima uangnya dsb yang termasuk ”memberi bantuan bagi


para pelaku riba”, oleh karena itu jelas bahwa pekerjaan di bank bank sekarang adalah haram, dan hendaklah setiap muslim menghindarinya, dan mencari pendapatan dengan cara yang dihalalkan Allah, dan itu banyak, hendaklah bertakwa kepada Allah Rabbnya, dengan tidak menjerumuskan dirinya kepada laknat Allah dan Rasul Nya.
Lajnah Daimah juga ditanya (15/55):


apakah gaji di bank bank terutama di negeri negeri Islam halal atau haram ? apakah sama dengan hukum bekerja pada rentenir? apakah ada bagian bagian tertentu di bank yang halal sebagaimana yang diragukan sekarang, dan bagaimana statusnya jika itu benar ?


Maka Lajnah menjawab:


Pertama: gaji di bank bank yang bermuamalah dengan riba haram, baik itu di negara Islam atau kafir, karena termasuk tolong menolong dalam dosa dan pemusuhan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa dalam firman Nya: (Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan) (QS Al Maidah: 2).


Kedua: Yang nampak bagi kami tidak ada bagian tertentu di bank kenvensional yang dikecualikan dalam Syariat yang suci ini, karena tolong menolong dalam dosa dan permusuhan terjadi diantara seluruh pegawai bank).




Dan Lajnah Daimah juga ditanya (15/18):


(Apa hukum bekerja sebagai insinyur maintenance di salah satu perusahaan perangkat elektronika yang bermualah dengan sejumlah bank bank riba, perusahaan menjual perangkat tersebut (komputer, mesin fotokopi, telefon) kepada bank, dan menugaskan kami sebagai


insinyur maintenance untuk pergi ke bank untuk merawat perangkat ini secara rutin, maka apakah pekerjaan ini haram dengan dasar bahwa bank menggunakan perangkat ini untuk menyiapkan tagihan tagihannya dan mengatur kerja kerjanya, dengan demikian kami membantunya dalam maksiat? ).


Maka Lajnah menjawab:


Anda tidak boleh bekerja di perusahaan seperti yang diceritakan karena termasuk tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.
Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apakah boleh bekerja di lembaga riba sebagai supir atau satpam ?





Beliau menjawab:


(tidak boleh bekerja di lembaga lembaga riba meskipun hanya sebagai supir atau satpam, karena masuknya dia sebagai pegawai di lembaga riba bermakna dia rela, karena yang mengingkari sesuatu tidak mungkin bekerja untuk kepentingannya, jika bekerja untuk kepentingannya maka berarti dia ridho dengannya, dan yang ridho dengan sesuatu yang diharamkan akan menanggung dosanya.


Adapun orang yang secara langsung bertugas dalam penulisan, pengiriman, penyimpanan, dan semacamnya maka tidak ragu lagi dia berhubungan langsung dengan hal haram. Telah diriwayatkan dari Jabir radhiallahu anhu dalam hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, kedua saksinya, dan penulisnya dan beliau berkata: mereka semua sama). Kitab Fatawa Islamiyah (2/401).


Dan banyak lagi fatwa yang masyhur dan terkenal yang mengharamkan gaji di bank bank konvensional, apapun posisinya, maka bagi yang masih gaji di bank bank tersebut hendaklah bertaubat kepada Allah serta meninggalkan pekerjaannya, dan memohon kepada Allah dengan bertawakal kepada Nya serta yakin bahwa rizki dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’alaa:


(Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikannya jalan keluar dan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak disangka sangka. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah maka Dia Yang mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan menyampaikan urusannya. Allah telah menentukan takdir bagi segala urusan) (QS Ath thalaq:2 3).
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘anhuRasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Sungguh bahagia seseorang yang masuk Islam, rezekinya cukup dan Allah jadikan dia merasa qana’ah dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya.” (HR. Muslim)
Seorang hamba yang diberi anugerah sifat qana’ah adalah orang yang merasa paling kaya di dunia. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


“Siapa saja di antara kalian yang berpagi hari dalam keadaan aman (tentram) jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, memiliki makanan pada hari itu, maka seolah telah dianugerahkan untuknya dunia seisinya.” (HR. At Tirmidzi dan beliau hasankan dari shahabat Abdullah bin Mihshan Al Anshari Radhiallahu ‘anhu )


“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita cita/harapannya, maka Allah akan cerai beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran selalu di pelupuk kedua matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan


barangsiapa akhirat sebagai niatnya, maka Allah akan kumpulkan urusannya, Allah jadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan dunia itu tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit Radhiallahu ‘anhu dan dishahihkan Asy Syaikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad 1/263)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Tidaklah ada seorang pun yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada apa yang dia makan dari hasil usahanya sendiri. Dan sungguh Nabiyullah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Al Bukhari dari Miqdam bin Ma’dikarib Radhiallahu ‘anhu )


Sungguh benar. Berusaha mencari rezeki yang halal dari hasil usaha sendiri, bukan dengan cara mengemis, diiringi dengan ketakwaan dan tawakkal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, setelah itu banyak bersyukur dan qana’ah atas anugerah rezeki dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Alangkah tentramnya hati seorang hamba yang memiliki sifat qana’ah.


Hukum Gaji Pegawai Bank Syariah dalam Islam


Adapun gaji di bank bank syariat maka tidak mengapa apabila dapat dibuktikan bahwa itu benar benar bank islami yang tidak bermuamalah kecuali dengan yang dihalalkan Allah. Berikut fatwa yang kami nukil dari website Al Meshkat Al Islamiyah oleh Abdul Hayyi Yusuf:


Sesungguhnya bank bank syariat muncul sebagai upaya dari sebagian kaum muslimin yang sadar ingin membebaskan kaum muslimin dari dosa dosa riba dan buruknya muamalah dengan riba, sehingga dibentuklah bentuk bentuk transaksi yang diterapkan dalam muamalah sesama manusia yang lebih mendekati maksud syariat Insya Allah, akan tetapi muamalah muamalah ini belum seluruhnya selamat dari riba atau syubhat riba.






Oleh karenanya, maka bermuamalah seperti ini dengan setiap lembaga yang hartanya masih bercampur, ada diantara ulama yang memfatwakan kebolehannya. Maka saya berpendapat tidak mengapa InsyaAllah – untuk menerima pekerjaan ini. Ini benar Insya Allah, karena selama pihak manajemen bank menyatakan bahwa manajemen bank syariatnya terpisah dengan bank induknya yang konvesional,


demikian juga menyatakan bahwa muamalahnya telah diusahakan sesuai dengan muamalah syariat maka kita tidak perlu lagi untuk memaksakan diri menyelidiki kebenarannya, karena Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah diberi daging bakar oleh seorang wanita yahudi


dan beliau tidak memaksakan diri untuk mencari tahu kepastian kehalalannya, seperti kita tahu bahwa makanan mereka dihalalkan untuk kita, padahal mereka termasuk orang yang bermuamalah dengan yang diharamkan seperti minuman keras atau daging babi dan sebagainya. Wallahu A’lam.














(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)






Setelah uraian panjang tentang masalah mudharabah dan aplikasinya dalam dunia perbankan syariah, serta sampai pada kesimpulan bahwa sistem mudharabah yang dipraktikkan di bank-bank syariah adalah riba, maka saya aturkan tulisan berikut kepada para pegawai dan karyawan bank, sebagai nasihat dan peringatan. Semoga diberi kemanfaatan oleh Allah l di dunia dan di akhirat.







Hukum Bekerja di Bank (Syariah)


Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz t: “… Tidak diperbolehkan bekerja di bank seperti itu (yang melakukan transaksi riba, pen.). Sebab bekerja di sana termasuk ta’awun (tolong-menolong) di atas dosa dan permusuhan. Allah l berfirman:


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma’idah: 2)


Disebutkan dalam Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah c dari Nabi n bahwa beliau melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan orang lain dengan harta riba, penulis, dan kedua saksinya. Beliau menyatakan:


“(Dosa) mereka sama.”


Adapun gaji yang telah anda terima, maka halal bagi anda bila sebelumnya anda jahil (tidak tahu) tentang hukum syar’inya, dengan dasar firman Allah l:


“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)


Sementara bila anda tahu bahwa pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan, maka seyogianya gaji yang anda terima disalurkan kepada proyek-proyek kebajikan dan menyantuni para fuqara disertai dengan taubat kepada Allah l. Barangsiapa bertaubat kepada Allah l dengan taubat nashuha, maka Allah l akan menerima taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Sebagaimana firman Allah l:


“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)


Allah l juga berfirman:


“Dan bertaubatlah kalian semua wahai kaum mukminin, agar kalian beruntung.” (An-Nur: 31) [Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Kitab Ad-Da’wah, 2/195-196, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ hal. 128-130]


Fatwa serupa juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t sebagaimana dalam Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin (2/703). Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 128).


Juga Al-Lajnah Ad-Da’imah (13/344-345) yang diketuai oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, anggota: Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’.


Juga penjelasan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam kitabnya Qam’ul Mu’anid (2/278).


Fatwa mereka berlaku umum bagi siapa saja yang bekerja di bank-bank ribawi, walaupun hanya sebagai sopir atau sekuriti (petugas keamanan). Juga berlaku pada semua lembaga ribawi selain bank. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 133).


Bahkan hukumnya pun berlaku bagi pihak yang tidak punya pilihan pekerjaan kecuali di bank ribawi, atau pihak yang kondisi ekonominya pailit dan hanya ada lowongan pekerjaan di bank ribawi, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t. Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 132-133).


Ancaman keras bagi pihak yang terlibat praktik riba


1. Allah l berfirman:


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)


2. Allah l juga menegaskan:


“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)


3. Pihak yang terlibat dalam praktik ribawi didoakan laknat oleh Rasulullah n sebagaimana hadits Jabir z yang lalu.


4. Memakan harta riba termasuk dosa yang menghancurkan pelakunya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah z:


اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الَمُوبِقَاتِ -فَذَكَرَ مِنْهَا:- أَكْلَ الرِّبَا


“Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan… (beliau menyebutkan di antaranya): memakan harta riba.” (Muttafaqun ‘alaih)


Masih banyak lagi dalil tentang keharaman dan ancaman terhadap muamalah riba.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan: “Tidak ada dalam Kitabullah sebuah ancaman atas tindakan dosa selain syirik yang lebih keras daripada ancaman terhadap riba.” (Syarah Buyu’ hal.125)






Harta riba tidak barakah dan berujung pada kehancuran


Allah l menegaskan dalam firman-Nya:


“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276)


Pemusnahan harta riba itu meliputi dua hal:


q Pemusnahan di dunia secara hakiki dengan kehancuran harta tersebut atau diambil barakahnya. Hal ini sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud z, Rasulullah n bersabda:


مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ


“Tidaklah ada seseorang yang memperbanyak riba melainkan akibat akhir urusannya adalah kekurangan.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/16)


q Pemusnahan di akhirat nanti secara maknawi. Dia akan berjumpa dengan Allah l dalam keadaan sebagai orang muflis (bangkrut). (Syarah Buyu’ hal. 126)






Takwa kepada Allah l dan tawakkal kepada-Nya adalah kunci datangnya rezeki yang halal


Allah l berfirman:


“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)


Lafadz ﮟ dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk nakirah (umum) dalam konteks persyaratan. Secara kaidah ushul fiqih mengandung arti umum, sehingga mencakup jalan keluar dari semua kasus dan problem. Ini juga memberi isyarat makna akan adanya jalan keluar terbaik dalam waktu cepat.


Bila Allah l yang Maha Kuasa lagi Maha Kaya, yang memberi jalan keluar sekaligus menjamin kebutuhan hamba yang takwa dan bertawakkal, lalu apa yang dikhawatirkan? Apa yang dia risaukan? Ketenangan dan ketentraman hatilah yang semestinya dirasakan.


Rasulullah n bersabda:


لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا


“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan anugerahkan rezeki kepada kalian sebagaimana melimpahkan rezeki kepada burung, di pagi hari dalam keadaan lapar, (pulang) sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad dari ‘Umar bin Al-Khaththab z, dan dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/110-111)






Anjuran mencari usaha yang halal dan keutamaan qana’ah


Allah l berfirman:


“Maka apabila shalat itu telah usai, maka menyebarlah kalian di atas muka bumi dan carilah keutamaan dari Allah.” (Al-Jumu’ah: 10)


Rasulullah n bersabda:


مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ


“Tidaklah ada seorang pun yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada apa yang dia makan dari hasil usahanya sendiri. Dan sungguh Nabiyullah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dari Miqdam bin Ma’dikarib z)


Sungguh benar. Berusaha mencari rezeki yang halal dari hasil usaha sendiri, bukan dengan cara mengemis, diiringi dengan ketakwaan dan tawakkal kepada Allah l, setelah itu banyak bersyukur dan qana’ah (merasa cukup) atas anugerah rezeki dari Allah l. Alangkah tentramnya hati seorang hamba yang memiliki sifat qana’ah.


Rasulullah n bersabda:


لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرِةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ


“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya materi (dunia). Namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (yang ada) dalam hati.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah z)


Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c, Rasulullah n bersabda:


قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَكَانَ رِزْقُهُ كِفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا أَتَاهُ


“Sungguh bahagia seseorang yang masuk Islam, rezekinya cukup dan Allah jadikan dia merasa qana’ah dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya.” (HR. Muslim)


Seorang hamba yang diberi anugerah sifat qana’ah adalah orang yang merasa paling kaya di dunia. Sabda Rasulullah n:


مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فـِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حُيِّزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا


“Siapa saja di antara kalian yang berpagi hari dalam keadaan aman (tentram) jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, memiliki makanan pada hari itu, maka seolah telah dianugerahkan untuknya dunia seisinya.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau hasankan dari shahabat Abdullah bin Mihshan Al-Anshari z)


Akhirul kalam, mari kita renungkan bersama sabda Rasulullah n berikut:


مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ


“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-cita/harapannya, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran selalu di pelupuk kedua matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan barangsiapa akhirat sebagai niatnya, maka Allah akan kumpulkan urusannya, Allah jadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan dunia itu tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit z dan dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/263)


Wallahu a’lam bish-shawab.

0 Response to "Hukum bekerja dan Gaji Pegawai Bank dalam Islam"

Posting Komentar