Allah menurunkan Al Qur’an kepada NabiNya, Muhammad -Sholallahu Alaihi Wassalam- dengan bahasa Arab yang jelas, Alloh Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
"Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril alaihissalam). Ke dalam hatimu agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas." (Asy-Syu'ara: 192-195).
Lalu beliau -Sholallahu Alaihi Wassalam- menyampaikan al-Qur'an itu kepada manusia dengan penyampaian yang benar dan tidaklah Allah mewafatkan beliau kecuali setelah beliau telah menyampaikan dan menjelaskan segala apa yang diturunkan kepadanya dalam kitab tersebut sebagaimana firmanNya,
“ Dan Kami turunkan kepadamu ( wahai Muhammad) Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [ An Nahl : 44]
“ Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” [An Nahl 64]
Imam Al Mufassir Ibnu Jarir Ath Thabari -rahimahulloh- berkata dalam menafsirkan ayat ini "Allah yang tinggi penyebutan-Nya berfirman kepada NabiNya, Muhammad , dan tidaklah Kami turunkan kepadamu kitab Kami, dan Kami utus kamu sebagai Rasul kepada makhluk Kami kecuali hanya agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan padanya dari agama Allah".
Dan telah jelas sekali sesuatu yang menunjukkan bahwasanya para sahabat -Rodliallahu Anhum- telah menerima dari Rasulullah tafsiran al-Qur'an, di mana seseorang dari mereka apabila mempelajari sepuluh ayat darinya, ia tidak akan berpindah kepada ayat lain kecuali setelah memahami maknanya dan mengamalkannya.
Abu Abdurrahman as-Sulami -rahimahulloh- berkata [ia merupakan pembesar Tabi'in], "Telah meriwayatkan kepada kami orang-orang yang telah membacakan kepada kami bahwasanya mereka meminta agar dibacakan al-Qur'an oleh Nabi dan bila mereka mempelajari sepuluh ayat mereka tidak akan meninggalkannya hingga mereka mengamalkan isinya maka kami pun mempelajari al-Qur'an dan mengamalkannya secara keseluruhan."
Dan para sahabat -Rodliallahu Anhum- itu bila ada suatu kemusykilan/ketidakfahaman yang mereka dapatkan, mereka bertanya kepada Nabi , seperti ketika turun firman Alloh Subhanahu Wa Ta'ala ,
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman." (Al-An'am: 82)
Maka para sahabat Rasulullah berkata, "Siapakah di antara kami yang tidak menzhalimi dirinya sendiri?" Beliau bersabda,"Tidaklah seperti apa yang kalian katakan, 'Dan mereka tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman 'maksudnya adalah dengan kesyirikan." [ Al Bukhari no 3360 dan Muslim 2462]
Kemudian yang menjelaskan dan menafsirkannya setelah Nabi -Sholallahu Alaihi Wassalam- yang merupakan sebaik-baik manusia dalam penjelasan-nya dan paling jujur keimanannya dan paling dalam keilmuannya adalah para sahabat (yaitu orang-orang yang dengan mereka tegak-lah al-Qur'an itu, dan dengannya mereka bergerak, dengan mereka al-Qur'an berbicara, dan dengannya mereka berkata, orang-orang yang dianugerahkan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta'ala keilmuan dan hikmah yang meru¬pakan keistimewaan mereka terhadap seluruh pengikut para Nabi.
Mereka itulah para sahabatnya -Rodliallahu Anhum- , yang dipilih oleh Alloh Subhanahu Wa Ta'ala di antara seluruh makhluk agar menemani Nabi-Nya selama dua puluh tiga tahun, dan al-Qur'an turun kepada mereka dengan bahasa mereka sendiri yang mereka hidup dengannya maka mereka membelanya dan mengamalkannya.
Dan ahli tafsir yang paling terkenal di antara mereka adalah para khalifah ar-Rasyidun, Ubay bin. Ka'b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin az-Zubair -Rodliallahu Anhum--
Dan yang paling terkenal riwayatnya dalam tafsir adalah Abdullah bin Mas'ud -Rodliallahu Anhu- yang berkata tentang dirinya, "Demi Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain diri-Nya, tidaklah satu surat yang diturunkan dari kitabullah, kecuali saya yang paling tahu di mana ia diturunkan, dan tidaklah satu ayat diturunkan dari kitabullah, kecuali saya paling tahu tentang pembahasan yang di¬turunkan, dan apabila saya mengetahui seseorang yang lebih menge-tahui dariku tentang kitabullah di mana unta mampu sampai kepa-danya, pastilah saya akan menungganginya kepadanya."
Dan Abdullah bin Abbas -Rodliallahu Anhu- adalah ahli tafsir al-Qur'an yang telah didoakan oleh Nabi -Sholallahu Alaihi Wassalam- seraya berkata,
"Ya Allah! pahamkanlah ia dalam agama, dan ajarkanlah ia tafsir"
Ibnu Mas'ud -Rodliallahu Anhu- berkata tentangnya, "Sebaik-baik ahli tafsir al-Qur'an adalah Ibnu Abbas ."
Kemudian tafsir ini setelah para sahabat dilanjutkan oleh para Tabi'in, khususnya para sahabat Abdullah bin Abbas -Rodliallahu Anhu- di Makkah seperti Mujahid, Said bin Jabir dan semisal mereka -rahimahumulloh- . Mujahid ber¬kata, "Saya ajukan sebuah rnushaf kepada Ibnu Abbas dengan tiga kali pengajuan dari pembukaannya hingga penutupnya dan saya menghentikan pada setiap ayat darinya lalu saya menanyakan tentang ayat itu kepadanya". Oleh karena itu, ats-Tsauri berkata, 'Apabila kamu mendapatkan tafsir dari Mujahid, maka cukuplah bagimu."
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah -rahimahulloh- berkata, "Oleh karena itulah yang bersandar kepada tafsirnya adalah asy-Syafi'i dan Bukhari serta selain mereka berdua dari para ulama, demikian juga Imam Ahmad dan lain-lainnya dari orang-orang yang mengarang tafsir selalu mengulang-ulang jalan dari Mujahid lebih banyak dari jalan selainnya."
Demikian juga para sahabat Abdullah bin Mas'ud -Rodliallahu Anhu- seperti Alqamah, Masruq dan semisal mereka -rahimahumulloh- , Ibnu Mas'ud berkata, "Tidaklah saya membaca sesuatu dan tidak pula saya mengetahui-nya kecuali Alqamah membacanya dan mengetahuinya."
Dan al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahulloh- memiliki perincian yang memadai yang tidak mungkin dapat ditinggalkan oleh seorang yang membaca buku-buku tafsir agar mengetahui isnad-isnad yang paling populer yang diriwayatkan dari para Tabi'in dan orang-orang setelahnya, beliau menjelaskan dalamnya kondisi orang yang meriwayatkan tafsir dari para Tabi'in dan orang-orang setelahnya.
Maksudnya adalah kita dapat mengetahui bahwasanya para sahabat dan Tabi'in telah menafsirkan al-Qur'an, mereka telah menjelaskan lafazh beserta makna-maknanya, maka kewajiban kita adalah mereferensikan perkataan mereka apabila kita tidak mendapatkan suatu tafsir dari al-Qur'an atau Sunnah. Adapun perselisihan yang terjadi di antara mereka dalam hal ini sangat sedikit sekali, bahkan jarang terjadi, dan sebagian besar perselisihan yang ada di antara mereka itu adalah perselisihan bentuk dan bukan perselisih¬an yang saling bertentangan, hal ini sebagaimana disebutkan dan dijelaskan oleh syaikh Islam Ibnu Taimiyah -rahimahulloh- pada "Muqaddimah at-Tafsir".
Kemudian para ulama memfokuskan perhatiannya kepada kompilasi agar dapat mengumpulkan tafsir-tafsir para sahabat adapun para Tabi'in yang bersandar kepada mereka seperti Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Abd bin Humad. Ibnu Hajar berkata, "Tafsir-tafsir yang empat ini sedikit sekali ada sesuatu yang menyimpang dalam tafsir yang marfu' dan mauquf pada para sahabat dan maqthu' dari para Tabi'in."
.
Inilah serial terjemah dari Kitab Fathul Qodir : Al Jami’ Baina Ar Riwayah wa Ad Dirayah min Ilm At Tafsir, Sebuah Kitab Tafir Al Quran yang ditulis oleh Imam Muhammad bin Ali Asy Syaukani -rahimahulloh- . Beliau adalah seorang imam besar, mujtahid mutlak, Al Qodhi/ Hakim di negeri Yaman, Pemberantas Syirik , Bidah, Firqoh Sesat semasa hidupnya di abad ke-13 Hijriyah, pakar hadits, ahli tafsir,sejarahwan, Seorang Salafi, pemilik karya-karya tulis terkemuka dan bermanfaat. Bagi Musliman Ahlus Sunnah wal Jamah, nama lengkapnya adalah Abu Ali Badruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan Asy-Syaukani , dikenal dengan nama Imam Asy Syaukani -rahimahulloh-
BAB I
Pendahuluan
A. Latar BelakangPerbincangan rasionalitas selalu menarik utk dikaji, dari tulisan dan sistematika yang bermula dari tulisan Harun Nasution, kemudian marak dipakai untuk meninjau sejauh mana latar belakang penulis dan anutan madzhabnya dalam percikan penafsiran yang dipakai dalam menungkap makna terdalam dari mutiara al-Qur’an.
Al-Syaukânî (1172 H.-1250 H./1834 M.) dikenal sebagai ulama yang lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berfikir maju dalam tradisi keagamaan pada akhir abad ke-12 H.(18 M.) dan memasuki awal abad ke 13 H. (19 M.). Dalam jarak waktu kurang lebih 78 tahun, al-Syaukânî telah melahirkan banyak karya-karya brilian. Tafsir Fath al-Qadîr adalah salah satu dari karya al-Syaukânî yang cukup monumental. Al-Syaukânî adalah putra dari ‘Ali al-Syaukani (1130 – 1211 H.), salah seorang ulama yang terkenal di Yaman.
Ketekunan al-Syaukani dalam belajar dan membaca telah mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usia yang masih relatif muda, kurang dari 20 tahun, ia telah diminta oleh masyarakat kota San’a untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan, sementara pada waktu itu, guru-gurunya masih hidup. Lalu, pada usia kurang tiga puluh tahun, ia telah mampu berupaya melakukan ijtihad sendiri dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan pada masanya. [1]
Dengan demikian, kami akan membahas mengenai Imam Asy-Syaukani serta salah satu karyanya, yaitu Tafsair Fathul Qadir. Dengan harapan makalah ini dapat membantu pembaca dalam menambah wawasan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Imam Asy-Syaukani?
2. Bagaimana Tafsir Imam Asy-Syaukani?
BAB II
Pembahasan
A. Imam Asy-Syaukania. Biografi Imam Asy-Syaukani
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Badruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan Asy-Syaukani, dikenal dengan nama Imam Asy Syaukani rahimahullah. Imam Asy-Syaukani rahimahullah dilahirkan pada hari senin, tanggal 28 bulan Dzulqa’dah tahun 1173 H di Hijrah Syaukan, ketika itu jaraknya 1 hari perjalanan dari San’a di Yaman. Ayahnya adalah seorang ulama. Sang ayah merawat dan menjaga anaknya agar selalu berada di dalam koridor keilmuan sejak usia dini.
Pertama-tama, Imam Asy-Syaukani menyelesaikan hafalan Al-Quran, kemudian setelah itu menghafal berbagai matan dan prinsip-prinsip keilmuan yang beragam. Selepas itu, Imam Asy-Syaukani pindah ke ibukota Sana’a untuk menimba ilmu dari para syaikh dan ulama. la tidak pernah absen mengikuti kajian Ibnu Muthahhir Al-Qabili rahimahullah selama kurang-lebih 13 tahun, dan lulus darinya dengan menguasai berbagai cabang keilmuan. Imam Asy-Syaukani juga mendalami ilmu hadits, tafsir, dan mushthalah hadits kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Kaukabanirahimahullah. la mendapatkan banyak ilmu darinya. Selanjutnya ia berinteraksi dan berguru dengan ulama besar pada masanya, yaitu Imam Ash-Shan’ani rahimahullah. Dari Imam Ash-Shan’ani, Asy-Syaukani mendapatkan ilmu yang berlimpah, mengikuti konsepnya, dan meniti metodenya, sehingga ia menjadi salah seorang murid unggulannya.[2]
Imam Asy-Syaukani berpindah dari satu pengajian ilmu ke pengajian lainnya di Sana’a. Setiap ulama atau syaikh yang beliau datangi dan duduk di majelis tersebut. Beliau mneghimpun seluruh ilmu dari ulama di zamannya, sehingga wawasan dan keilmuannya sangat luas, dan beliau menjadi Imam pada masanya yang menjadi rujukan masyarakat dan empat tujuan para pencari ilmu dari negeri-negeri yang jauh; India, Daulah Utsmani, dan Dagestan. Tidak terhitung orang-orang yang menimba ilmu darinya.
Pada tahun 1209 H, petinggi hakim Yaman, Yahya Asy-Syajari As-Sahuli meninggal dunia. Para penguasa di Yaman tidak mendapatkan ulama yang lebih utama daripada Imam Asy-Syaukani. Saat itu, Asy-Syaukani sibuk mengajar berbagai ilmu ijtihad, mengeluarkan fatwa, dan menyusun karya. la jarang bergaul dengan orang-orang, tak terkecuali dengan para pejabat pemerintahan. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki kedekatan dengan Imam Asy-Syaukani. Ketika mereka memintanya untuk menduduki jabatan hakim, Imam Asy-Syaukani pada awalnya menolak. Akan tetapi, atas desakan pemerintah kepadanya, permintaan para ulama dan syaikh, serta keinginannya untuk menyebarkan As-Sunnah, memberangus bid’ah, dan berdakwah menyeru masyarakat ke jalan As-Salaf Ash-Shalih, akhirnya ia menerima jabatan hakim itu, setelah mempertimbangkan bahwa jika dirinya menolak maka salah seorang ulama su’ (buruk) akan menduduki jabatan itu.[3]
b. Karya-Karya Imam Asy-Syaukani
Imam Asy-Syaukani meninggalkan kekayaan intelektual ilmiyyah berupa karya-karya yang mencapai sekitar 278 judul di berbagai cabang keilmuan. Kebanyakan dari karya itu masih berbentuk manuskrip yang meniscayakan tekad dan semangat baja untuk emperkenalkannya, agar bisa dimanfaatkan oleh orang banyak. Akan tetapi, berkat kebaikan Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- , kitab-kitabnya yang terpenting dan popular dapat dicetak. Popularitas kitab-kitab itu sangat terkenal.Di mana tidak ada satu pun dari negeri muslim dan forum pengajaran keilmuan yang tidak melibatkan karya-karya Imam Asy-Syaukani.
Di antara karya-karyanya yang terkemuka adalah:
1. Fathul Qadir yang merupakan kitab tafsir yang sangat bernilai.
2. Al-Fawa’id Al-Majmu‘ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah. Ia menyempurnakan kitab ini yang merupakan karya para ulama terdahulu semisal Ibnu al-Jauzi, Al-’Iraqi, dan As-Suyuthi. la meluruskan kesalahan-kesalahan yang mereka buat di dalamnya.
3. Nail Al-Authar Syarh Muntaqa Al-Akhbar yang menjadi kitabnya yang paling terkenal dan paling penting. Kitab ini menjadi referensi utama bagi setiap pencari.
4. As-Sail Al-Jurar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iq Al-Azhar. Sebuah kitab yang di dalamnya Imam Asy-Syaukani mengkritik Madzhab Syiah Zaidiyah dan mewariskan konklusi-konklusi ijtihadnya. Kitab ini menjadi kitab terbaik dalam studi fikih perbandingan.
5. Irsyad Al-Fuhul, sebuah kitab dalam bidang ushul fikih.
6. Tuhfah Adz-Dzakirin.
7. Al-Fath Ar-Rabbani min Fatawa Al-Imam Asy-Syaukani.
8. Wabl Al-Ghamam ‘ala Syifa Al-Awam fi Naqdhi Madzhab Az-Zaidiyyah.
9. Al-Badr Ath-Thali’ bi Mahasin min ba’di Al-Qarn As-Sabi’, merupakan salah satu kitab biografi penting yang bermanfaat. Selain itu semua, Imam Asy-Syaukani juga menulis banyak risalah fikih beragam dan menerangkan risalah-risalah tentang hadits di sejumlah pembahasan keilmuan.
10. dan kitab-kitab lainnya yang bermanfaat.[4]
B. Pandangan ulama Terhadap Imam Asy-Syaukani
Imam Asy-Syaukani meninggalkan kekayaan intelektual ilmiyyah berupa karya-karya yang mencapai sekitar 278 judul di berbagai cabang keilmuan. Kebanyakan dari karya itu masih berbentuk manuskrip yang meniscayakan tekad dan semangat baja untuk emperkenalkannya, agar bisa dimanfaatkan oleh orang banyak. Akan tetapi, berkat kebaikan Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- , kitab-kitabnya yang terpenting dan popular dapat dicetak. Popularitas kitab-kitab itu sangat terkenal.Di mana tidak ada satu pun dari negeri muslim dan forum pengajaran keilmuan yang tidak melibatkan karya-karya Imam Asy-Syaukani.
Di antara karya-karyanya yang terkemuka adalah:
1. Fathul Qadir yang merupakan kitab tafsir yang sangat bernilai.
2. Al-Fawa’id Al-Majmu‘ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah. Ia menyempurnakan kitab ini yang merupakan karya para ulama terdahulu semisal Ibnu al-Jauzi, Al-’Iraqi, dan As-Suyuthi. la meluruskan kesalahan-kesalahan yang mereka buat di dalamnya.
3. Nail Al-Authar Syarh Muntaqa Al-Akhbar yang menjadi kitabnya yang paling terkenal dan paling penting. Kitab ini menjadi referensi utama bagi setiap pencari.
4. As-Sail Al-Jurar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iq Al-Azhar. Sebuah kitab yang di dalamnya Imam Asy-Syaukani mengkritik Madzhab Syiah Zaidiyah dan mewariskan konklusi-konklusi ijtihadnya. Kitab ini menjadi kitab terbaik dalam studi fikih perbandingan.
5. Irsyad Al-Fuhul, sebuah kitab dalam bidang ushul fikih.
6. Tuhfah Adz-Dzakirin.
7. Al-Fath Ar-Rabbani min Fatawa Al-Imam Asy-Syaukani.
8. Wabl Al-Ghamam ‘ala Syifa Al-Awam fi Naqdhi Madzhab Az-Zaidiyyah.
9. Al-Badr Ath-Thali’ bi Mahasin min ba’di Al-Qarn As-Sabi’, merupakan salah satu kitab biografi penting yang bermanfaat. Selain itu semua, Imam Asy-Syaukani juga menulis banyak risalah fikih beragam dan menerangkan risalah-risalah tentang hadits di sejumlah pembahasan keilmuan.
10. dan kitab-kitab lainnya yang bermanfaat.[4]
B. Pandangan ulama Terhadap Imam Asy-Syaukani
Pujian Ulama terhadap Asy Syaukani rahimahullah
Al-Allamah Husain As-Saba’i Al-Anshari rahimahullah berkata, “Asy-Syaukani adalah pemimpin para imam; mufti umat; lautan ilmu; mentari kecerdasan; sandaran para mujtahid dan ahli hadits; ksatria makna dan lafadz; tiada tandingannya di zamannya; guru besar Islam; sosok pandai pada zamannya; penerjemah hadits dan Al-Quran; tokoh zahid; hamba saleh tiada tanding; penghancur pelaku bid’ah; pemimpin orang-orang bertauhid; mahkota orang-orang yang mengikuti sunnah; pemilik karya-karya yang belum pernah ada sebelumnya; petinggi para hakim Ahlussunnah wal Jamaah, syaikh riwayat; pemerhati sanad; pionir dalam ranah ijtihad; penelaah hakekat-hakekat dan sumber-sumber syariat; pandai dalam mengungkap hal-hal samar dan maksud-maksudnya.”
Al-Allamah Al-Bahkali rahimahullah mengatakan tentangnya, “la adalah hakim banyak ulama; guru besar Islam; ahli tahqiq (telaah) yang cendekia; seorang imam; raja para ulama; pemimpin dunia; penutup para ahli hadits tanpa diperdebatkan lagi; AI-Hujjah; kritikus sanad; tokoh yang wara’; pelakon kebenaran dengan kekuatan jiwa dan ketegasan lisan.”Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah menuturkan, “la menguasai seluruh pengetahuan; orang yang pro dan kontra sepakat atas penelaahannya. ialah salah satu orang yang bisa dihitung dengan jari jari dalam ilmu-ilmu ijtihad; pemenang dalam hal pengetahuan terhadap perkara-perkara syariat yang samar; memiliki banyak karya mumpuni lagi menyenangkan, berguna, dan bermanfaat.”
Imam Abdul Hayyi Al-Kattani rahimahullah menyebutkan, “la seorang imam; penutup ahli hadits di belahan timur; tokoh cendekia; peneliti; pakar ijtihad; dan seorang hakim. la seumpama tahi lalat di wajah abad yang silam; air bah di kening masa; meniti manhaj keilmuan yang banyak orang sebelumnya buta akan hal itu; dianugerahi kelancaran pena dan kepemimpinan yang belum pernah digoreskan pena lainnya. la merupakan salah satu kebanggaan negeri Yaman, dan bahkan bangsa Arab.”
Sayyid Abdurrahman bin Al-Ahdal rahimahullah menyatakan, “Pemimpin pada era kami dalam seluruh bidang keilmuan; orator pada era kami dalam menjelaskan segenap hakekat kata-kata dan makna-makna; Al-Hafizh; Al-Musnid; Al-Hujjah, pemberi petunjuk dalam menerangkan sunnah-sunnah Nabi Muhammad secara gamblang; kemuliaan Islam; ialah Muhammad bin Ali Asy-Syaukani.”
Dalam kesempatan lain, Al-Allamah Al-Kattani juga berkata tentang Imam Asy-Syaukani, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganugerah imam ini tiga hal yang aku tidak tahu apakah hal-hal itu terhimpun pada orang lain di zaman penghujung ini. Pertama, keluasan ilmu dengan beragam jenis dan macamnya. Kedua, banyak murid yang pandai menelaah dan berwawasan luar biasa. Tiga, banyak karya yang dikeluarkannya.”
Ibrahim bin Abdullah Al-Hautsi mengutarakan, “Imam Asy-Syaukani adalah pemimpin para punggawa takwil. la memperdengarkan, menyusun, dan membuat riang banyak telinga dengan fatwa, pemahaman, penelitian, dan ia juga memberikan banyak manfaat. Lembaran-lembaran fatwa-fatwanya bertebaran ke seantero negeri. la terkenal akan ketelitian dan karya tulisnya, juga kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadits, tafsir, ushul, furu, sejarah, pengetahuan tentang tokoh-tokoh hadits, dan kondisi sanad riwayat-riwayat.
Dalam Mu’jam Al-Muallifin, Umar Kahalah berkata, “Imam Asy-Syaukani adalah pakar tafsir; ahli hadits; ahli fikih; ahli ushul; sejarawan; sastrawan; pakar nahwu; pakar logika; ahli ilmu kalam; dan ahli ilmu hikmah. Pada masa hidupnya, karya-karyanya berserakan di seluruh negeri. Setelah wafatnya, orang-orang mendapatkan banyak manfaat dari karya-karyanya itu.”
Al-’Allamah Imam Al-Alusi rahimahullah, penulis kitab tafsir Ruhul Maa’ni fi tafsir al Qur’an wa As Sab’u Al Matsani , mengatakan, “Namun kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mentakdirkan bagi mereka kebanggaan yang setara, kemuliaan Islam, kebaikan di setiap malam dan hari, yaitu Al-Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani. Dengannya, Allah menghancurkan bid’ah, menghapuskan kesesatan, serta mengalahkan para pengikut agama dan madzhab yang batil semisal Zaidiyah, dan sebagainya, sehingga keimanan dan segenap aspeknya tumbuh subur di Yaman.”[5]
Sayyid Abdurrahman bin Al-Ahdal rahimahullah menyatakan, “Pemimpin pada era kami dalam seluruh bidang keilmuan; orator pada era kami dalam menjelaskan segenap hakekat kata-kata dan makna-makna; Al-Hafizh; Al-Musnid; Al-Hujjah, pemberi petunjuk dalam menerangkan sunnah-sunnah Nabi Muhammad secara gamblang; kemuliaan Islam; ialah Muhammad bin Ali Asy-Syaukani.”
Dalam kesempatan lain, Al-Allamah Al-Kattani juga berkata tentang Imam Asy-Syaukani, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganugerah imam ini tiga hal yang aku tidak tahu apakah hal-hal itu terhimpun pada orang lain di zaman penghujung ini. Pertama, keluasan ilmu dengan beragam jenis dan macamnya. Kedua, banyak murid yang pandai menelaah dan berwawasan luar biasa. Tiga, banyak karya yang dikeluarkannya.”
Ibrahim bin Abdullah Al-Hautsi mengutarakan, “Imam Asy-Syaukani adalah pemimpin para punggawa takwil. la memperdengarkan, menyusun, dan membuat riang banyak telinga dengan fatwa, pemahaman, penelitian, dan ia juga memberikan banyak manfaat. Lembaran-lembaran fatwa-fatwanya bertebaran ke seantero negeri. la terkenal akan ketelitian dan karya tulisnya, juga kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadits, tafsir, ushul, furu, sejarah, pengetahuan tentang tokoh-tokoh hadits, dan kondisi sanad riwayat-riwayat.
Dalam Mu’jam Al-Muallifin, Umar Kahalah berkata, “Imam Asy-Syaukani adalah pakar tafsir; ahli hadits; ahli fikih; ahli ushul; sejarawan; sastrawan; pakar nahwu; pakar logika; ahli ilmu kalam; dan ahli ilmu hikmah. Pada masa hidupnya, karya-karyanya berserakan di seluruh negeri. Setelah wafatnya, orang-orang mendapatkan banyak manfaat dari karya-karyanya itu.”
Al-’Allamah Imam Al-Alusi rahimahullah, penulis kitab tafsir Ruhul Maa’ni fi tafsir al Qur’an wa As Sab’u Al Matsani , mengatakan, “Namun kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mentakdirkan bagi mereka kebanggaan yang setara, kemuliaan Islam, kebaikan di setiap malam dan hari, yaitu Al-Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani. Dengannya, Allah menghancurkan bid’ah, menghapuskan kesesatan, serta mengalahkan para pengikut agama dan madzhab yang batil semisal Zaidiyah, dan sebagainya, sehingga keimanan dan segenap aspeknya tumbuh subur di Yaman.”[5]
C. Tentang Tafsir Fathul Qadir
a. Latar Belakang Penulisan Tafsir
Mengenal sosok al-Syaukani tidak bisa terluput dari perhatian kita terhadap kitab tafsîr Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr sebagai karya terbesarnya dalam bidang tafsir. Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr adalah kitab tafsir yang dikarang oleh ulama besar bernama al-Imâm Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukânî al-San‘any (W. 1250 H.).
Al-Syaukânî termasuk salah seorang ulama Yaman yang banyak menulis dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti seperti tafsîr, hadîts, fiqh, usul fiqh, sejarah, ilmu kalâm, filsafat, balaghah, mantiq, dan lain sebagainya. Selanjutnya penulis mencoba mengenal kitab tersebut lebih jauh, dan sebagai langkah awal kita harus harus mengingat pendapat al-Syaukani sendiri tentang kitabnya.
Menurut keterangan al-Syaukani, penulisan tafsîr Fath al-Qâdîr ini dilatarbelakangi oleh keinginan al-Syaukânî untuk menjadikan al-Qur’an sebagai jawaban bagi penentang, menjadi penjelas bagi yang ragu, dan menjelaskan dan sesuatu yang halal dan haram. hal ini seperti yang diungkapkan al-Syaukânî sendiri dalam kata pengantar tafsîr Fath al-Qadîr sebagai berikut:
الحمد لله الذي جعل كتابه المبين كافلا ببيان الآحكام, شاملا لما شرعه لعباده من الحلال والحرام, مرجعا للآعلام عند تفاوت الآفهام وتباين الآقدام وتخالف الكلام, قاطعا للخضام شافيا للسقام مرهما للآوهام, فهو العروةالوثقى التي من تمسك بها فازبدرك الحق القويم, والجادةالواضحه التي من سلكها فقد هدى الى الصراط المستقيم... [6]
”Segala puji bagi Allah yang menjadikan al-Qur’an sebagai penjelas bagi hukum-hukum yang mencakup tentang hal yang haram dan halal, yang menjadi rujukan bagi para cendikiawan ketika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, dan menjadi jawaban bagi penentang, obat bagi orang sakit, sekaligus penjelas bagi yang ragu. Kitab ini merupakan pegangan hidup yang kokoh, siapa yang bepegang teguh kepada kitab ini, maka dia akan mencapai kebenaran, dan siapa yang mengikuti tuntunannya, maka ia akan ditunjukkan kepada jalan yang lurus...”
Berdasarkan data di atas, nampaknya al-Syaukânî cukup bersemangat dalam menuangkan pemikirannya melalui tafsirnya. Karena melihat kemuliaan dan keagungan akan al-Qur’an sebagai firman Allah. Al-Syaukani mengandalkan kitabnya sebagai muara kebenaran, sehingga wajar jika beliau senantiasa memberi himbauan kepada para pemikir dan peneliti untuk mempergunakan kitab tersebut sebagai acuan dalam rangka mencari kebenaran dan kepastian hukum.
Di antara kelebihan kitab ini, sebagaimana disebutkan oleh al-Syaukani sendiri yaitu ditemukan penyebutan sahih, hasan, daif, bahkan ditemukan kritik, komparasi dan penunjukkan pendapat yang paling kuat. Kitab tafsir ini karena besar dan banyak, sudah pasti banyak sekali ilmu yang terkandung di dalamnya, telah sampai kepada kebenaran yang dimaksud, mengandung sekian banyak manfaat. Jika hendak membuktikan kebenaran itu, coba perhatikan tafsir-tafsir yang menggunakan metodologi dirâyah (kontekstual), kemudian perhatikan kitab ini, jelas sekali bahwa kitab ini merupakan sumber inspirasi, yang merupakan keajaiban dan rujukan para pencari ilmu. Sehingga, kitab ini diberi namaKitab tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fanny al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm al-Tafsîr.[7]
b. Sistematika
Dalam penulisan kitab tafsir dikenal adanya tiga sistematika.pertama, sistematika Mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dengan dimulai dari surat Tafsiral Fatihah, al Baqarah dan seterusnya sampai surat an Nas. Kedua, Isistematika Nuzuli yang dalam menafsirkan al Qur’an berdasarkan kronologi turunnya surat-surat al Qur’an. Ketiga, sistematika Maudlu’i yaitu menafsirkan al Qur’an berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Asy-Syaukani dalam menulis kitab tafsirnya memulai dengan surat al Fatihah dan diakhiri surat an Nas, dengan demikian beliau memakai sistematiaka mushafi, yaitu menafsirkan al Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.[8]
c. Metode Penafsiran
Metode yang dipakai Ast-Syaukani dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Langkah-langkah penafsiran Asy-Syaukani sebagai berikut:
1. Menyebutkan ayat.
2. Menyebutkan point-point masalah ayat yang dibahas ke dalam beberapa bagian.
3. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
4. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadis-hadis dengan menyebut sumber dalilnya.
5. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
6. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing dan mengambil pendapat yang paling benar
d. Corak Tafsir
Tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannaî al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, karya al-Imâm Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-Syaukânî, merupakan salah satu tafsir yang mengambil corak madzhab dalam hal ini adalah madzhab Syiah Zaidiyah. Al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn menyebut kurang lebih 13 kitab yang membahas tentang syiah imamiah, dan 1 kitab tafsir tentang Syiah Zaidiyah yakni Fath al-Qadîr. Selain itu, al-Dzahabi juga menyebut 6 kitab yang bercorak madzhab dalam hal ini fikih. Salah satu dari sekian banyak itu adalah karya Imam al-Syaukânî dari madzhab Syi’ah Zaidiyah.[9]
Rasionalitas tafsir Fath al-Qadir karya al-Syaukani Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran dalam kitab Fath al-Qadir, yakni pemikiran yang bercorak rasional. Pemikiran yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat kepada makna harfiyah, dan banyak memakai arti majâzi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Pemikiran ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Serta pemikiran yang bercorak tradisional. Pemikiran yang bercorak tradisional adalah pemikiran yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiyah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup Fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyah Bukhara
Asy-Syaukâni di dalam tafsir Fath al-Qadîr uraiannya menggabungkan antara metode riwâyah dan dirâyah. Metode riwâyah adalah metode yang menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur’an menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para sahabat. Dan metode dirâyah adalah metode yang menggunkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam menganalisa ayat-ayat al-Qur’an. al-Dzahabi menyebut bahwa Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada Jama’ah Islamiyah (Suni-Asy’ariyah), namun dalam masalah aqidah, Zaidiyah sesuai dengan Mu’tazilah.[10]
D. Contoh Penafsiran
Paling tidak penulis menggunakan tiga sampel untuk membidik kerasionalitasan al-Syaukani. Pertama, Dalam menafsirkan ayat 75 surat Sâd (38) yang di dalamnya terdapat kata bi yaday, al-Syaukani mengatakan dalam penafsirannya:
"قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي" أي ما صرفك وصدك عن السجود لما توليت خلقه من غير واسطة، وأضاف خلقه إلى نفسه تكريماً له وتشريفاً، مع أنه سبحانه خالق كل شيء أضاف إلى نفسه الروح، والبيت، والناقة، والمساجد. [11]
“Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” yakni apa yang membuat kamu enggan dan membangkang untuk berusujud terhadap hamba yang kuciptkan dengan tanpa adanya perantara, dan kami bubuhi penuh dengan nilai-nilai kemulyaan, sebagaimana Allah adalah sang Pencipta segala sesuatu, baik itu menciptakan nyawa, rumah, onta serta masjid-masjid.”
Setelah ayat yang sebelumnya yang mengurai keengganan Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam as., ayat di atas mengurai kecaman Allah kepada Iblis. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku”. Kata “yadai” (dengan kedua tangan) menurut Quraish Shihab, sebagai berikut:
“Kalimat khalaqtu bi yadai, diperbincangkan oleh para ulama Ada yang mengambil jalan pintas, lantas berkata ada sifat khusus yang disandang Allah dengan nama itu sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat kebendaan dan keserupaan makhluk. Ada juga yang memahami kata tangan dengan arti kekuasaan, dan penggunaan bentuk dual sekedar untuk menginformasikan betapa besar kekuasaan-Nya itu. Ada lagi yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan adalah anugerah duniawi dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau menjadi isyarat tentang kejadian manusia dari dua unsur utama yakni debu, tanah, dan juga ruh Ilahi. ”[12]
Al-Syaukani dalam keterangannya di atas, memahami kata yadayyanampaknya lebih kepada isyarat tentang betapa manusia memperoleh pegangan khusus dan penghormatan dari Allah Swt. Dari sini pula sehingga ayat di atas, tidak menggunakan kata tunggal untuk kata yadai/tangan tetapi bentuk dual yakni yadayya/kedua tangan-Ku.
Kedua, dalam menafsirkan ayat 67 surat al-Zumar (39) yang didalamnya terdapat kata biyamînih, al-Syaukani mengatakan bahwa Allah bertangan kanan, maksud utamanya ialah mendekatkan pahamnya kepada kita. Namun hakikat sebenarnya, demikian kata al-Syaukani yaitu bersangkut paut dengan qudrat Ilahi yang mutlak, yang tidak terikat oleh bentuk dan tidak terbatas. Sebagaimana al-Syaukani menafsirkannya sebagai berikut:
"والسموات مطويات بيمينه" فإن ذكر اليمين للمبالغة في كمال القدرة كما يطوي الواحد منا الشيء المقدور له طيه بيمينه، واليمين في كلام العرب قد تكون بمعنى القدرة والملك. [13]
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” penyebutan tangan kanan yaitu untuk mencapai proses sempurna dalam kekuasaanya, sebagaimana seseorang menggulungkan sesuatu dengan tangan kanannya. Dan tangan kirinya dalam bahasa Arab bermakna kekuasaan dan kerajaan”.
Ayat di atas, mengecam kaum musyrikin dengan menyatakan sesungguhnya mereka telah melakukan kedurhakaan yang besar yakni mempersekutukan Allah padahal bumi dan beserta isinya adalah dalam genggaman tangan-Nya. Al-Syaukani memahami yamînih nampaknya secara metafora dalam arti kekuasaan atau kerajaan. Agaknya yang dimaksud di sini adalah kekuasaan Allah Swt. Penggalan ayat di atas, adalah salah satu di antara, yang menggambarkan sebagian dari hakikat kuasa Allah yang mutlak, yang tidak terikat oleh satu bentuk, tidak juga memerlukan tempat atau dibatasi oleh batas-batas apapun. Demikian al-Syaukani.
Ketiga, kata jâ’a Rabbuka (telah datang Tuhanmu) dalam ayat 22 surat al-Fajr (89), juga diberi ta’wil oleh al-Syaukani dengan ketentuan Tuhan. Al-Syaukani menulis sebagai berikut:
"وجاء ربك" أي جاء أمره وقضاؤه وظهرت آياته، وقيل المعنى: أنها زالت الشبه في ذلك اليوم وظهرت المعارف وصارت ضرورية كما يزول الشك عند مجيء الشيء الذي كان يشك فيه، وقيل جاء قهر بك وسلطانه وانفراده بالأمر والتدبير من دون أن يجعل إلى أحد من عباده شيئاً من ذلك "والملك صفاً صفاً" انتصاب صفاً صفاً على الحال: أي مصطفين، أو ذي صفوف [14]
“Dan datang “Tuhanmu” yakni datang perintah dan ketentuannya dan jelaslah tanda-tandanya, ada juga yang mengartikan “bahwasannya hilanglah keragu-raguan pada hari itu dan jelaslah keterangan-keterangan itu sebagaimana hilangngnya keragu-raguan itu ketika datang sesuatu yang membuat dia ragu, dan ada juga yang menafsirkan datanglah yang memaksamu atas perintahnya “dan sedang malaikat berbaris-baris” kata “ saf safa” dinasabkan karena sebagai hal posisinya. Memiliki makna yaitu berbaris-baris”.
Ayat di atas merupakan kecaman terhadap ayat sebelumnya yang mengaku memberikan kemuliaan dan memberi makan anak yatim, al-Syaukani memberikan keterangan bahwa “dan datang Tuhanmu, yakni datang dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya atau hadirlah ketetapannya, serta nampak dengan jelas kuasa dan keagungan-Nya.
Uraian di atas, menunjukkan bahwa secara kuantitatif al-Syaukani sebenarnya lebih cenderung kepada pandangan yang di anut di kalangan pemikir kalam rasional-tradisioanl. Dikatakan rasional yakni memahami nash-nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam makna metaforisnya. Dari tiga kasus yang disebut di atas, yakni:yadayya, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis. Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf ayat 143 .
Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak pada masalah melihat Tuhan di dunia, tetapi terletak pada perbedaan yang terjadi pada masa sahabat, dan masalah ini sudah terkenal di antara mereka.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pada hakekatnya al-Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut, cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.
BAB III
Penutup
Pengarang (asy-Syaukani) menyebutkan bahwa biasanya para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia mengatakan, “Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling bertentangan sedapat mungkin dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah dengan sedikit banyak. Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”
Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun ukurannya besar tetapi memuat ilmu yang banyak, terpenuhi bagian tahqiq (analisis)-nya serta mengena tujuan mencari kebenaran di dalamnya serta mencakup pula faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan sebagainya yang disarikan dari kitab-kitab tafsir…”
Kitab tafsir asy-Saukani memiliki keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta. Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan beragam tuduhan, semoga Allah merahmati beliau.
Daftar Pustaka
An-Najdy, Abu ‘Abdillah Muhammad Ali Hamud. 2001. “al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin”, Beirut: Darul Fikr.
Al-Ghumari, Muhammad Hasan. 2001. “al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran,” Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. 2000. “al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,”Kairo: Maktabah Wahbah.
Asy-Syaukani, 2007. “Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir”. Beirut: Darul Ma’rifah.
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN SUKA. 2004. “Studi Kitab Tafsir”,Yogyakarta: Teras.
Shihab, M. Quraish. 2002. “Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an”, Jakarta: Lentera Hati.
http://smartmuslimonline.com/tafsir-fathul-qadir-imam-asy-syaukani-1-set12-jilid/. Diakses pada tanggal 26 Mei 2016.
[1] Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, (Beirut: Darul Fikr, 2001), hal.50-53
[2]Asy-Syaukani, “Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir”. (Beirut: Darul Ma’rifah, 2007), h. 5-6
[3]Muhammad Hasan al-Ghumari, al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), h.
[4]Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, (Beirut: Darul Fikr, 2001), hal.56
[5] http://smartmuslimonline.com/tafsir-fathul-qadir-imam-asy-syaukani-1-set12-jilid/. Diakses pada tanggal 26 Mei 2016
[6] Asy-Syaukani, “Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir”. (Beirut: Darul Ma’rifah, 2007), h. 11
[7] Asy-Syaukani, h. 12
[8] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN SUKA, Studi Kitab Tafsir,(Yogyakarta, Teras, 2004), h. 68
[9] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000).
[10] Asy-Syaukani, h. 12
[11] Asy-Syaukani, h. 1272
[12] M. Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an”, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
[13] Asy-Syaukani, h. 1291
[14] Asy-Syaukani, h. 1621
[1] Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, (Beirut: Darul Fikr, 2001), hal.50-53
[2]Asy-Syaukani, “Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir”. (Beirut: Darul Ma’rifah, 2007), h. 5-6
[3]Muhammad Hasan al-Ghumari, al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), h.
[4]Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, (Beirut: Darul Fikr, 2001), hal.56
[5] http://smartmuslimonline.com/tafsir-fathul-qadir-imam-asy-syaukani-1-set12-jilid/. Diakses pada tanggal 26 Mei 2016
[6] Asy-Syaukani, “Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir”. (Beirut: Darul Ma’rifah, 2007), h. 11
[7] Asy-Syaukani, h. 12
[8] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN SUKA, Studi Kitab Tafsir,(Yogyakarta, Teras, 2004), h. 68
[9] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000).
[10] Asy-Syaukani, h. 12
[11] Asy-Syaukani, h. 1272
[12] M. Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an”, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
[13] Asy-Syaukani, h. 1291
[14] Asy-Syaukani, h. 1621
0 Response to "Download Ebook Tafsir Fathul Qadir format pdf"
Posting Komentar