Dalam keyakinan yang benar yaitu keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sesuai pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, iman itu tidak cukup keyakinan dalam hati, tetapi harus diucapkan di lisan dan dibuktikan dalam amal perbuatan anggota badan
Segala puji
hanya bagi Allah, kepada-Nya kita meminta pertolongan atas urusan-urusan
duniawi dan agama, teriring doa serta keselamatan semoga tercurah atas Rasul
yang termulia, yaitu Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabat, para
tabi’in, dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat., amma ba’du:
Dari Umar
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.
Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena
wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.”
(HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)
Rasulullah hallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh
sebaik baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad saw, dan seburuk buruk perkara adalah perkara yang baru” (Shahih
Bukhari)
*******************
Dalam hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).
Cabang Iman
Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah perkataan di lisan, keyakinan dalam hati, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.
Disebutkan dalam hadits di atas bahwa cabang iman yang tertinggi ialah kalimat ‘laa ilaha illalah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah). Kalimat tersebut adalah pokok Islam dan Iman. Kalimat tersebut merupakan rukun pertama dari Islam dan yang bisa membuat seseorang masuk Islam.
Sedangkan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, yang dimaksud di sini adalah menyingkirkan setiap gangguan apa pun. Sedangkan meletakkan gangguan di jalanan termasuk sesuatu yang terlarang. Semisal memarkir mobil di tengah jalan dan mengganggu kendaraan yang lalu lalang, ini termasuk meletakkan gangguan di jalan. Mengalirkan air sehingga mengganggu orang lain di jalan, ini pun termasuk yang terlarang. Begitu pula meletakkan batu sehingga mengganggu di jalan, ini pun terlarang. Apalagi jika sampai meletakkan bom di jalanan, meskipun disebut sebagai jihad! Jika seseorang menyingkirkan gangguan-gangguan tadi dari jalanan, itu menunjukkan keimanannya.
Malu pun termasuk cabang iman. Seseorang yang memiliki sifat malu, maka dirinya akan semakin mempesona dengan akhlaknya yang mulia tersebut. Malu ada dua macam sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Sholih Al Fauzan:
Malu yang terpuji: Malu yang bisa mengantarkan pada kebaikan dan mencegah dari kejelekan.
Malu yang tercela: Malu yang menghalangi seseorang dari berbuat baik, dari menuntut ilmu dan malu bertanya dalam perkara yang dibingungkan.
Cabang iman sebenarnya amatlah banyak, sebagaimana disebutkan ada 60 atau 70 sekian cabang. Bahkan Imam Al Baihaqi memiliki karya tulis dalam masalah cabang-cabang iman ini, yaitu dalam kitab Syu’abul Iman dan kitab ringkasannya pun sudah ada yang tercetak (dalam versi Arabic).
Keyakinan dalam Masalah Iman
Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan dalam lisan dan amalan dengan anggota badan.
Dalil yang menunjukkan keyakinan ahlus sunnah adalah hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas. Perkataan ‘laa ilaha illallah’ menunjukkan bahwa iman harus dengan ucapan di lisan. Menyingkirkan duri dari jalanan menunjukkan bahwa iman harus dengan amalan anggota badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah dalil yang menunjukkan keyakinan ahlu sunnah di atas. Sehingga iman yang benar jika terdapat tiga komponen di dalamnya yaitu (1) keyakinan dalam hati, (2) ucapan di lisan, dan (3) amalan dengan anggota badan.
Secara jelas keyakinan Ahlus Sunnah mengenai iman termaktub dalam perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah di mana beliau berkata,
“Fasal: Di antara pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa agama dan iman terdiri dari: perkataan dan amalan, perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu bisa bertambah dengan melakukan ketaatan dan bisa berkurang karena maksiat.”
Hakikat Iman
Barangsiapa niatnya mencari dunia, Allâh akan menjadikan urusan dunianya berantakan, menjadikan kefakiran di pelupuk matanya, dan ia hanya bisa meraih apa yang telah ditetapkan baginya.
Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela sikap tamak terhadap dunia. Bahkan, Allâh Azza wa Jalla sangat merendahkan kedudukan dunia dalam banyak ayat al-Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“…Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” [Ali ‘Imrân/3:185]
Apabila seseorang menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya dan mengesampingkan akhirat, maka Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan urusan dunianya berantakan, serba sulit, serta menjadikan hidupnya dalam kegelisahan. Dan Allâh Azza wa Jalla menjadikan kefakiran di pelupuk matanya, selalu dihantui kemiskinan atau tidak pernah merasa cukup dengan rizki yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepadanya.
Dunia yang berhasil ia raih hanya sebatas apa yang telah ditetapkan baginya, meskipun ia telah bekerja keras pada seluruh waktunya dengan mengorbankan kewajiban beribadah kepada Allâh, mengorbankan hak-hak isteri, anak-anak, keluarga, orang tua, dan lainnya
Cinta kepada dunia adalah sumber semua kejelekan, oleh karenanya tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuan hidup. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hûd/11:15-16]
Juga firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “ Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. .” [ Asy-Syûrâ/42:20]
Iman bukan sekadar keyakinan atau pengakuan semata. Al-Hasan al-Bashri berkata,
لَيْسَ الْإِيْمَانُ بِالتَّحَلِّي وَلَا باِلتَّمَنِّي وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي الْقَلْبِ وَصَدَّقَتْهُ الْأَعْمَالُ
“Sesungguhnya iman bukanlah angan-angan atau pengakuan semata, namun iman adalah keyakinan yang tertancap dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman [1/80])
Ya, iman bukan sekadar angan-angan. Iman adalah keyakinan yang kokoh dalam hati yang dibuktikan dengan ucapan lisan dan amal perbuatan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, serta orang-orang yang menunaikan zakat….” (al-Mu’minun: 1—4)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, serta orang-orang yang menunaikan zakat….” (al-Mu’minun: 1—4)
Saudaraku, rahimakumullah. Iman dimisalkan sebagai sebuah pohon yang sangat indah sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24—25)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t berkata, “Dalam ayat ini, Allah memisalkan kalimat iman—kalimat yang paling indah—dengan sebuah pohon yang paling indah dengan sifat-sifatnya yang terpuji. Akar-akarnya kokoh, tumbuh dengan sempurna, terus-menerus mengeluarkan buah-buahnya setiap saat dan waktu. Manfaat-manfaatnya pun terus dirasakan pemiliknya dan orang lain. Pohon ini berbeda-beda keadaannya sesuai dengan perbedaan kalbu orang-orang yang beriman perbedaan yang disebutkan oleh Allah sifat-sifatnya.
dalam kitab tafsir ibnu katsir :
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: perumpamaan kalimat yang baik. (Ibrahim: 24) Yakni
syahadat atau persaksian yang bunyinya 'tidak ada Tuhan selain Allah'.
seperti pohon yang baik. (Ibrahim: 24) Yang dimaksud ialah orang mukmin.
akarnya teguh. (Ibrahim: 24) Yaitu kalimat, 'Tidak ada Tuhan selain
Allah' tertanam dalam di hati orang mukmin. dan cabangnya (menjulang)
ke langit. (Ibrahim: 24) Maksudnya, berkat kalimat tersebut amal orang
mukmin dinaikkan ke langit.
Demikianlah menurut Ad-Dahhak, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa sesungguhnya hal ini merupakan perumpamaan tentang amal perbuatan orang mukmin, ucapannya yang baik, dan amalnya yang saleh. Dan sesungguhnya orang mukmin itu seperti pohon kurma, amal salehnya terus-menerus dinaikkan (ke langit) baginya di setiap waktu, pagi dan petang.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Ismail, dari Abu Usamah, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Ketika kami sedang bersama Rasulullah Saw., beliau bersabda, 'Ceritakanlah kepadaku tentang pohon yang menyerupai seorang muslim, ia tidak pernah rontok daunnya, baik di musim panas maupun di musim dingin, dan ia mengeluarkan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhannya'.
" Ibnu Umar mengatakan, "Lalu terdetik di dalam hatiku jawaban yang mengatakan bahwa pohon itu adalah pohon kurma. Tetapi aku melihat Abu Bakar dan Umar tidak bicara, maka aku merasa segan untuk mengemukakannya. Setelah mereka tidak menjawab sepatah kata pun, bersabdalah Rasulullah Saw. bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma. Ketika kami bangkit (untuk pergi), aku berkata kepada Umar, 'Wahai ayahku, demi Allah, sesungguhnya telah terdetik di dalam hatiku jawabannya, bahwa pohon itu adalah pohon kurma.' Umar berkata, 'Apakah yang mencegahmu untuk tidak mengatakannya?'Aku menjawab, 'Aku tidak melihat kalian menjawab, maka aku segan untuk mengatakannya atau aku segan mengatakan sesuatu.' Umar berkata, 'Sesungguhnya bila kamu katakan jawaban itu lebih aku sukai daripada anu dan anu'."
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari, juga oleh Imam Muslim.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: seperti pohon yang baik. (Ibrahim: 24) bahwa pohon tersebut adalah sebuah pohon yang ada di dalam surga.
Demikianlah menurut Ad-Dahhak, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa sesungguhnya hal ini merupakan perumpamaan tentang amal perbuatan orang mukmin, ucapannya yang baik, dan amalnya yang saleh. Dan sesungguhnya orang mukmin itu seperti pohon kurma, amal salehnya terus-menerus dinaikkan (ke langit) baginya di setiap waktu, pagi dan petang.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Ismail, dari Abu Usamah, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Ketika kami sedang bersama Rasulullah Saw., beliau bersabda, 'Ceritakanlah kepadaku tentang pohon yang menyerupai seorang muslim, ia tidak pernah rontok daunnya, baik di musim panas maupun di musim dingin, dan ia mengeluarkan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhannya'.
" Ibnu Umar mengatakan, "Lalu terdetik di dalam hatiku jawaban yang mengatakan bahwa pohon itu adalah pohon kurma. Tetapi aku melihat Abu Bakar dan Umar tidak bicara, maka aku merasa segan untuk mengemukakannya. Setelah mereka tidak menjawab sepatah kata pun, bersabdalah Rasulullah Saw. bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma. Ketika kami bangkit (untuk pergi), aku berkata kepada Umar, 'Wahai ayahku, demi Allah, sesungguhnya telah terdetik di dalam hatiku jawabannya, bahwa pohon itu adalah pohon kurma.' Umar berkata, 'Apakah yang mencegahmu untuk tidak mengatakannya?'Aku menjawab, 'Aku tidak melihat kalian menjawab, maka aku segan untuk mengatakannya atau aku segan mengatakan sesuatu.' Umar berkata, 'Sesungguhnya bila kamu katakan jawaban itu lebih aku sukai daripada anu dan anu'."
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari, juga oleh Imam Muslim.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ،
حَدَّثَنَا أَبَانُ -يَعْنِي ابْنَ زَيْدٍ الْعَطَّارَ -حَدَّثَنَا قَتَادَةُ:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ!
فَقَالَ: "أَرَأَيْتَ لو عمد إلى متاع الدُّنْيَا،
فَرَكَّبَ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ أَكَانَ يَبْلُغُ السَّمَاءَ؟ أَفَلَا أُخْبِرَكَ
بِعَمَلٍ أَصْلُهُ فِي الْأَرْضِ وَفَرْعُهُ فِي السَّمَاءِ؟ ". قَالَ: مَا هُوَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "تَقُولُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ
أَكْبَرُ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ"، عَشْرَ مَرَّاتٍ فِي دُبُرِ
كُلِّ صَلَاةٍ، فَذَاكَ أَصْلُهُ فِي الْأَرْضِ وَفَرْعُهُ فِي
السَّمَاءِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Musa ibny Ismail, telah menceritakan kepada kami Aban
(yakni Ibnu Zaid Al-Attar), telah menceritakan kepada kami Qatadah, bahwa
seorang lelaki pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, orang-orang yang berharta
telah pergi dengan memborong banyak pahala." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"Bagaimanakah pendapatmu, seandainya dia dengan sengaja menghimpun harta
kesenangan duniawi, lalu ia menumpukkan sebagian darinya di atas sebagian yang
lain, apakah (tingginya) dapat mencapai langit? Maukah kamu bila
kuberitahukan kepadamu suatu amal yang akarnya tertanam di dalam bumi,
sedangkan cabangnya menjulang ke langit?” Lelaki itu bertanya, "Wahai
Rasulullah, amal apakah itu?” Rasulullah Saw. menjawab, "Kamu ucapkan kalimah
'Tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar. Mahasuci Allah, dan segala puji
bagi Allah' sebanyak sepuluh kali seusai mengerjakan tiap-tiap salat. Maka
itulah yang akarnya tertanam di bumi, sedangkan cabangnya menjulang ke
langit.”Diriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: seperti pohon yang baik. (Ibrahim: 24) bahwa pohon tersebut adalah sebuah pohon yang ada di dalam surga.
*******************
{تُؤْتِي
أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ}
pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim. (Ibrahim: 25)
Makna lahiriah konteks ayat menunjukkan bahwa perumpamaan orang mukmin sama
dengan pohon yang selalu mengeluarkan buahnya setiap waktu, baik di musim panas
maupun di musim dingin, siang dan malam hari. Begitu pula keadaan seorang
mukmin, amal salehnya terus-menerus diangkat (ke langit) baginya, baik di tengah
malam maupun di siang hari, setiap waktu.
{بِإِذْنِ
رَبِّهَا}
dengan seizin Tuhannya. (Ibrahim: 25)Yakni mengeluarkan buahnya yang sempurna, baik, banyak, bermanfaat, lagi diberkati.
{وَيَضْرِبُ
اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ}
Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (Ibrahim: 25)
*******************
Manisnya Iman
Jika iman terus dipupuk dengan amalan saleh dan dijaga dari segala hal yang merusaknya, yaitu syirik, bid’ah, dan maksiat, sebagaimana seseorang memelihara pohon kurma yang sangat ia sayangi, setiap pagi dan sore ia sirami, tidak lupa ia memupuknya dan menjauhkannya dari hama dan penyakit, sungguh orang tersebut akan senantiasa mendapatkan kebahagiaan, kedamaian, ketenteraman yang tidak bisa dilukiskan. Ia akan mendapatkan manisnya imanDari Anas bin Malik , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah l dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah l, (3) ia membenci untuk kembali kepada kekafiran—setelah Allah l menyelamatkannya darinya—sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.”
Asy-Syaikh al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t menerangkan, “Dalam hadits ini, Rasulullah saw mengabarkan bahwa iman memiliki rasa manis dalam kalbu. Jika seorang hamba telah merasakan manisnya iman, manisnya iman akan menghiburnya dari segala kesenangan duniawi (yang tidak ia peroleh, -pen.) dan (menyelamatkannya dari) berbagai dorongan hawa nafsu, serta akan mewujudkan kehidupan yang thayyibah (penuh kebahagiaan). Karena, seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya pastilah ia akan selalu berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
demikianlah keadaan orang yang mencintai sesuatu pasti akan banyak menyebutnya. Ia juga akan bersungguh-sungguh dalam mengikuti Rasul nya dan lebih mendahulukan ketaatan kepada beliau dan dari pada ucapan orang lain. Ia pun lebih mendahulukan beliau dan daripada kehendak hawa nafsunya.
Orang yang demikian keadaannya, akan tenteram dan selalu dihiasi dengan ketaatan. Dadanya menjadi lapang untuk Islam. Ia pun berada di atas cahaya dari Rabbnya. Namun, kebanyakan orang yang beriman belum mencapai derajat yang sangat tinggi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan setiap orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Rabbmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (al-An’am: 132) (at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman hlm. 56)
Dalam hadits lain, Rasulullah juga menyebutkan tentang manisnya iman. Al-Abbas bin Abdil Muththalib meriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda,
ذَاقَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْناً وَمُحَمَّدٍ رَسُولاً
“Akan merasakan manisnya iman, seorang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim no. 150 dan at-Tirmidzi no. 2623)
Atsar Salaf Tentang Manisnya Iman
Pembaca, rahimakumullah. Sebagai generasi terbaik, para sahabat telah merasakan lezatnya iman. Kebahagiaan pun telah mereka raih bersama bimbingan Rasulullah . Mari kita simak beberapa atsar sahabat tentang halawatul iman.Sahabat Ubadah bin ash-Shamit pernah berwasiat kepada putranya,
يَا بُنَيَّ، إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ n يَقُولُ : إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ. قَالَ: رَبِّ، وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ. يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ n يَقُولُ: مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي.
Wahai anakku, sungguh engkau tidak akan mendapatkan kelezatan hakikat iman hingga engkau meyakini bahwasanya apa yang telah ditakdirkan oleh Allah akan menimpamu tidak akan luput darimu, dan apa yang ditakdirkan tidak menimpamu tidak mungkin mengenai dirimu. Aku mendengar Rasulullah n bersabda, “Sesungguhnya, yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ Pena berkata, ‘Wahai Rabbku, apa yang aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir-takdir segala sesuatu hingga tegak hari kiamat’.”
Wahai anakku, sungguh aku mendengar Rasulullah bersabda, “Barang siapa mati tidak di atas keimanan kepada takdir, ia bukan dari golonganku.” (Sunan Abu Dawud no. 4078, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Ammar bin Yasir , salah seorang sahabat peraih janji surga berkata,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: الْإِنْفَاقُ مِنَ الْإِقْتَارِ، وَإِنْصَافُ النَّاسِ مِنْ نَفْسِكَ، وَبَذْلُ السَّلَامِ لِلْعَالَمِ
“Tiga hal yang jika ada pada seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: berinfak di masa sempit, bertindak adil kepada manusia, dan menebarkan salam kepada manusia.” (Riwayat Abdurrazaq dalam al-Mushannaf no. 19439 dari Ma’mar, dari Abu Ishaq, dari Shilah bin Zufar, dari Ammar bin Yasir )
Abdullah bin Mas’ud al-Hudzali berkata,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ يَجِدُ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: تَرْكُ الْمِرَاءِ فِي الْحَقِّ، وَالْكَذِبِ فِي الْمِزَاحَةِ، وَيَعْلَمُ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ
“Tiga hal yang jika itu ada pada seseorang, niscaya ia akan meraih manisnya iman: meninggalkan perdebatan dalam keadaan ia benar, meninggalkan dusta meskipun dalam gurauan, serta ia yakin bahwa apa yang ditakdirkan pasti tidak akan luput darinya, dan apa yang tidak ditakdirkan tidak akan menimpanya.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Kabir [9/157 no. 8790] dan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf no. 20082)
Berlomba Meraih Manisnya Iman
Hadits-hadits dan atsar sahabat di atas menunjukkan bahwa manisnya iman bisa dirasakan oleh seorang mukmin. Namun, kelezatan dan manisnya iman tersebut tentu bertingkat-tingkat, berbeda antara seorang mukmin dan mukmin lainnya.Kelezatan iman dalam kalbu seorang mukmin yang kokoh adalah kenikmatan yang agung, melebihi kenikmatan-kenikmatan dunia, bahkan tidak bisa dibandingkan. Bisa jadi, seseorang mengalami kekurangan dari sisi duniawi, namun sesungguhnya ia orang yang berada di puncak kebahagiaan karena iman yang tertanam dalam kalbunya.
Suatu saat, Ibrahim bin Adham — salah seorang ulama ahlul hadits dan ahli zuhud di zamannya—berjalan dalam sebuah safar bersama sahabat-sahabatnya. Dalam perjalanan tersebut, mereka beristirahat untuk menikmati bekal berupa potongan roti kering—bukan daging dan roti basah dari tepung gandum halus yang biasa dihidangkan di meja para raja. Kemudian Ibrahim turun ke sungai. Dia ambil air dengan tangannya, meneguknya dengan menyebut Asma Allah , lantas berkata,
لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ
“Seandainya para raja dan para pangeran mengetahui (kebahagiaan dan kelezatan) yang sedang kita rasakan, niscaya mereka akan berebut dengan kita dengan pedang-pedang (karena iri dan tidak mendapatkan kebahagiaan itu, –pen.).” (Hilyatul Auliya 7/370)
Subhanallah, demikianlah kebahagiaan meliputi kalbu manakala iman telah mendarah daging. Sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dicapai oleh para penguasa dunia.
Sebagian salaf mengungkapkan kelezatan iman dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah , mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”
Kelezatan iman adalah surga di dunia ini. Sebagian ulama berkata,
إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً، مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لاَ يَدْخُلُ جَنَّةَ الْآخِرَةِ
“Sungguh, di dunia ada surga, siapa yang belum memasuki surga di dunia itu, ia tidak akan masuk surga di akhirat.” (Surga yang dimaksud adalah kelezatan iman yang berupa kecintaan Allah l, –pen.)
Di muka bumi ini ada manusia yang mencapai puncak-puncak keimanan hingga kelezatan iman ia rasakan. Ada pula yang hanya memiliki iman seberat dzarrah atau lebih ringan. Bahkan, kebanyakan manusia tidak mau masuk ke dalam keimanan, wal-‘iyadzu billah.
Semoga Allah memudahkan kita untuk memahami iman dengan benar.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
0 Response to "Meraih Manisnya Iman Yang Sebenarnya"
Posting Komentar